Dari Keluarga Petani


setia28
Author: Setia Kelana
Saya dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil di daerah  bernama Bruno yang masuk kampung bapak di Purworejo, Jawa Tengah. Bapak saya seorang sarjana pertanian lulusan sebuah universitas di Jogja. Setelah menikah, bapak memboyong ibu yang warga negara Venezuela ke kampung halamannya untuk mengurus tanah milik keluarga di Purworejo ini. Harusnya segala sesuatunya berjalan lancar. Tapi namanya pertanian selalu terkait langsung dari musim. Jika musin paceklik terlalu lama bisa dibilang apa saja termasuk harta benda di rumah terpaksa hilang karena dijual untuk makan.
Aktivitas ekonomi di Purworejo bergantung pada sektor pertanian. Diantaranya padi, jagung, ubi kayu, dan hasil palawija lain. Jagung terutama dihasilkan dari daerah saya, Kecamatan Bruno. Purworejo anugerah yang indah yang harus disyukuri. Betapa tidak. Di Purworejo ada dataran tinggi (Gunung kecil) ada juga dataran rendah menuju pantai. Si sepanjang pesisir selatan Purworejo berbatasan dengan Samudera Hindia. Ombaknya terkenal besar kalau Pantai selatan. Ada pantai Ketawang, Pantai keburuhan, Pantai Jatimalang, Pantai Bongkot, Pantai Congot. Selain Bruno, daerah yang dianggap gunung adalah Gebang, Kaligesing.
Hari demi hari, bapak mengolah tanah keluarga. Punggungnya selalu menghadap ke langit. Saya mempunyai 2 orang adik. Suatu ketika, untuk membeli sapu tangan buat kedua adik, yang mana semua gadis kecil di sekeliling  kelihatannya membawanya, saya mencuri banyak mangga tetangga dan menjualnya di pasar untuk kemudian dibelikan sapu tangan. Sampai sebegitunya karena keadaan ekonomi kami jauh meleset dari perkiraan ayah sebelum menikah. Lahan pertanian yang digarap bisa dibilang tidak menghasilkan. Pernah adik pas di bawah saya kedapatan mencuri uang bapak, jumlahnya tidak banyak karena memang bapak kami tidak pernah punya uang banyak, tetapi begitu ketahuan bapak menghukum adik saya dengan pukulan berkali kali. Saya tidak tega dan memohon bapak untuk memukul badan saya sebagai gantinya. Ayah kemudian memukul saya. Adik saya menjerit nangis setiap kali melihat muka saya menahan sakit.
Image result for bruno purworejo
Bruno, Purworejo
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang reot dan masih terus memarahi adik saya, “memalukan! apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan saya memeluk adik adik dalam pelukan kami. Ibu melihat tubuh saya penuh dengan luka, tetapi saya pantang menitikkan air mata setetes pun. Namun di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Bukan karena merasakan sakit dipukul, tetapi meratapi kenapa harus sampai terjadi begini di keluarga saya? Tidak lain tidak bukan karena kemiskinan. Adik menutup mulut saya dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Saya menjadi mulai selalu membenci diri sendiri karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengatasi masalah ekonomi ini. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Saya tidak pernah akan lupa tampang adik waktu ia menutupi mulut saya. Waktu itu, adik berusia 6 tahun dan yang paling kecil berusia 3 tahun. Saya berusia 8.
Ketika saya berada di kelas 4 SD terjadi pertengkaran hebat antara bapak dan ibu. Sebetulnya pertengkaran demi pertengkaran sudah seakan akan jadi makanan sehari hari bagi kami, tetapi pertengkaran di malam itu paling hebat. Esok paginya bangun dari tidur saya menemukan ibu menangis di ruang tamu dan saya sudah tidak melihat lagi keberadaan ayah mulai dari hari itu hingga seterusnya. Ya, bapak meninggalkan kami semua karena ketidakcocokkan dengan ibu dan sebetulnya lagi lagi faktor ekonomilah yang jadi akar penyebab itu. Kemudiannya ibu mencoba bekerja ala kadarnya dipabrik tapi hanya sanggup bertahan setahun saja. Selanjutnya ibu membawa kami semua untuk tinggal di rumah kakek dan nenek di Duri, Pakan Baru.
Kisah terus berlanjut sebagaimana yang saya ulaskan dalam Success Story saya. Mulai dari tinggal di keluarga bu Pungky, bertemu Eyang (Aki) konseptor perguruan hingga mencapai keberhasilan. Saya direcognized sebagai EF person di tahun 2009. Saya maju impact yang waktu itu diselenggarakan di Ciwidey- Bandung oleh Equitas Club. Lagu Bon Jovi diputar waktu saya maju ke depan. Bu Pungky yang memberikan recognition. Rasa haru bagi saya justru memuncak sewaktu kembali ke tempat duduk saya karena disitu ibu dan kedua adik saya menyambut. Sambil menangis ibu berkata: “Ibu bangga dengan kamu nak. Dengan hasil usaha melalui jalan di perguruan ini (Unisyn) ibu tidak ragu menitipkan kedua adikmu”. Bagi saya ucapan ibu waktu itu jauh lebih berharga nilainya dari pada kondisi Economically Freedom itu sendiri. Hal yang membuat diri saya bangga juga adalah karena saya berhasil menutup hutang hutang ibu saya yang jumlahnya sudah menggunung dan disamping saya sudah bisa belikan rumah cukup mewah buat ibu dan adik adik saya di Jogja. Juga saya beli sebuah rumah cukup bagus di daerah Cibubur Country Cikeas. Sayangnya, pembimbing saya, pelatih saya – Aki, pada waktu recognition tidak berkenan untuk hadir karena memang beliau tidak suka akan hingar bingar perayaan seperti itu.
Image result for cibubur country cikeas picture
Beberapa minggu setelah pulang dari recognition itu saya mengundang beberapa teman dari sesama broker pendanaan proyek mengadakan pesta kebun BBQ di malam hari. Teman teman dari pendanaan ini beberapa ada yang juga sudah berhasil. Tetapi mereka yang belum berhasilpun selalu berusaha tampil mentereng dengan setelan jas dan mobil mewah, namanya juga broker, salah satu bentuk usaha meyakinkan client adalah dari penampilan maut. Saya sedang asyik membakar daging ikan dan domba di barbequ grill ketika salah satu teman saya memberitahukan, “Ada seorang bapak bapak dari kampung menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencari saya? Saya berjalan keluar, dan ternyata saya melihat Aki, pelatih idola saya sedang berdiri di luar pagar. Saya menanyakannya, “Mengapa Eyang tidak bilang pada teman saya sebagai pelatih sukses saya? Orang yang paling berjasa dalam hidup saya?” Beliau menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilan saya. Apa yang akan mereka, teman temanmu pikir? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Saya merasa terenyuh dan air mata memenuhi mata. Saya peluk Eyang Guru erat erat dan tersendat sendat dalam kata-kata, “Saya tidak perduli omongan siapa pun! Eyang adalah orang yang sangat berarti sampai kapanpun juga! Apa dan bagaimana pun penampilan eyang…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit dasi terbuat dari emas. Ia menyematkan Tie Clip itu dan terus menjelaskan, “Kamu sekarang bukanlah Setia yang dulu lagi. Kamu harus tampil ‘decent’” .
Kemudian saya berusaha keras ingin memperkenalkan coach ke teman teman saya di dalam. Ingin sekali memperlihatkan ke teman teman bahwa tanpa orang ini saya belum tentu bisa sesukses sekarang. Tetapi Eyang menolak. Padahal saya sudah bayangkan tepuk tangan akan membanjiri ruangan di dalam. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepada saya dan eyang, terutamanya. Ingin saya ucapkan keluar bibir, “Dalam hidup saya, orang yang paling saya berterima kasih adalah beliau ini.”
Akhirnya tetap saja, eyang melambaikan tangan dan masuk ke sebuah mobil BMW X3 yang di dalamnya di belakang stir saya lihat kakak seperguruan, seorang gadis cantik, ikut melambaikan tangannya, Susi Rusanti. Saya terus melihat mobil itu pergi hingga menghilang di balik tikungan. Air mata tak terasa meleleh di pipi.
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti Pelatih Saya itu? Sudah sebegitu berjasanya tapi pantang dipandang jasanya? Tanpa pamrih. DI dunia yang sekarang justru faktanya adalah kebalikannya….
Semoga Eyang Guru segera sembuh dari penyakit yang dideritanya, karena jika sampai terjadi apa yang kami semua tidak harapkan, terus terangnya saya belum tahu diri ini bagaimana bisa menghadapinya.
Read More...