Larasati


          

Susiana Rusanti
Jun 8, 2011
Larasati03
Larasati adalah kakak seperguruan. Kakak ke 3, seharusnya bila dia tidak mengundurkan diri. Diperguruan biasa ada sebutan kakak ke 1 ke 2 dst seperti dalam dunia persilatan Tiongkok.  Kakak ke 1 Dewi, kakak ke 2 Ningsih. Ukurannya adalah kapan orang itu bergabung dan mulai menerima Uni-G, tapi bukan Square.
Mbak Lala, panggilan dari Larasati lulusan Fakultas Sastra jurusan Perancis dari sebuah universitas negeri Big 5 di NKRI. Dia, seperti saya, berguru langsung dengan tokoh pendiri perguruan Uni-Syn. Kenal dengan sang tokoh karena sempat sebagai adik kelas di Fakultas Sastra jurusan Rusia. Coach saya sempat kuliah di dua fakultas dalam universitas yang sama.
Larasati mengundurkan diri utamanya karena berbeda pendapat dengan coach saya. Dia berpikir bahwa taraf Englightenment atau taraf dimana seseorang berhasil memperoleh ‘pencerahan’ dari Ilahi bisa tidak harus dengan mencapai posisi EF lebih dulu. Sebetulnya ini hanyalah kesalahfahaman saja.
Saya belum pernah bertemu muka dengan mbak Lala karena di tahun 1995 saya mulai berlatih Unisyn di tahun yang sama dia mengundurkan diri, disamping memang sebetulnya kami semua murid perguruan tidak akan pernah ketemu satu sama lainnya. Dia belajar di perguruan hanya selama 3 tahun, sampai Square 4 yaitu posisi No Debt.  Dari cerita pelatih saya, orangnya punya perilaku yang sangat sangat baik, tapi sayangnya keras kepala. Keras pada pendiriannya, tidak mudah mengubah karakternya yang kala itu masih seorang gadis usia 20an. Mbak Lala bersiteguh bahwa seseorang itu bisa memperoleh enlightenment tanpa harus lebih dulu bersusah payah mencapai EF dulu. Sebetulnya coach saya sependapat dengannya dalam satu sisi tapi tidak sejalan di sisi lainnya. Lala kemudian ingn membuktikan pendapatnya benar. Memang sebetulnya coach tidak menyangkal akan hal itu. Beliau juga setuju bahwa enlightenment bisa didapatkan tanpa harus dengan berkantong tebal; enlightenment memang tidak bisa dibeli karena pencerahan merupakan karunia dari Sang Maha Kuasa. Apa yang coach saya berusaha menyakinkan dan menegaskan kepada Lala bukan dari segi pencapaiannya melainkan MEMPERTAHANKANNYA. Namun Lala is Lala, keras kepala. Dia begitu yakin bahwa setelah enlightenment diperoleh maka segala sesuatu dalam aspek kehidupan menjadi dipermudah. Karena kita dicerahkan maka berarti pula perjalanan hidup kita selanjutnya juga dicerahkan, masa depan jadi cerah.
Akhirnya Lala benar bisa membuktikan bahwa di Square 3 dia berhasil mengalami proses enlightenment itu. Dikisahkan kala itu dia peroleh sewaktu tengah meditasi di malam hari. Berita pencerahan ini sama sekali tidak membuat coach kaget, melainkan beliau menganggap memang sudah semestinya seseorang dengan budi pekerti yang sebaik Lala bagaikan perilaku orang suci dan dilengkapi dengan bekal keimanan plus ibadah kepada Tuhan yang tidak pernah absen setiap hari, setiap jam, setiap menit dan detik, bertasbih memuji Asma Tuhan di setiap tarikan dan hembusan nafas, sudah tentu terjadi penyatuan diri dengan Sang Ilahi yang biasa disebut Manunggaling Kawula Gusti. Jauh sebelum terjadi moment pencerahan itu malah sang pelatih sudah lebih dulu memberitahukannya bahwa enlightenment hanya tinggal soal waktu saja.
Lala gembira, sudah dicerahkan. Lalu? What next ? Orang terlalu baik, baik kepada sesama manusia termasuk kepada urusan rumah tangganya apakah selanjutnya godaan dari setan otomatis berhenti terhadap orang yang sudah enlightened? Justru kalau dulunya mereka hanya kirim dari kaumnya ‘petugas’ berpangkat kopral hingga kapten, kini mereka kirim perwira tingginya, dikirim jenderal. Begitulah namanya dunia. Setan tidak bisa goda langsung, dicari strategi lain: ke suaminya. Singkatnya Lala merasa dikhianati dan rumah tangganyapun bubar.
Masih belum selesai rupanya episodenya Lala ini bagi kaum iblis. Mereka ganggu lagi dan kali  ini dari segi ekonomi. Karena yang selama ini berpenghasilan adalah suaminya, bukan dirinya. Akhirnya sequel berikutnya semakin bertubi tubi. Lala harus jadi single parent, berusaha keras berjuang mencari nafkah karena suaminya sudah nikah lagi dengan selingkuhannya, ditambah lagi membiayai ibunya yang harus cuci darah seminggu 2x.
Di tahun 1999 Coach saya sudah menikah dan coach sempat bertemu Lala secara kebetulan di supermarket, dalam kondisi keuangan yang suram. Dia sudah bekerja di sebuah perusahan Perancis, tapi gajinya tidak mencukupi. Perangainya? Berubah total. Meski waktu itu hanya ngobrol tidak sampai sejam tapi cukuplah bagi coach saya sampai pada kesimpulan demikian – Lala menjadi sangat negative thinking. Termasuk ajakan Lala untuk hal yang tidak bisa saya ceritakan disini. Coach sempat mencoba ajak bergabung lagi keperguruan tapi dia tolak dan dengan alasan to the point: malu.
Lalu bagaimana keadaan enlightenment itu? Tinggal sejarah sudah.
Jadi, teman teman, ada baiknya saya jelaskan kenapa coach saya punya alasan sendiri bahwa seseorang yang berlatih di perguruan ini agar mencapai keadaan EF dulu. Adalah karena satu kata saja: (Be) Responsible. Menjadi manusia di dunia ini tidak lepas dari tanggung jawab, apakah itu kepada diri sendiri dan terutamanya juga kepada orang orang terdekat kita yang sangat kita cintai. Paling tidak, sebagai EF person kita sudah bisa ‘bebas’ tanggung jawab dalam soal finansial. Juga sebagai manusia diharapkan kita tidak menjadi tanggung jawab orang lain karena dari hari ke hari kita berada ditempat tidur tidak bisa apa apa, tidak sehat. Itulah tujuan kita mencapai EF dulu: Healthy & Wealthy.
Banyak orang di dunia ini munafik, mengatakan dengan bangga bahwa dirinya tidak perlu jadi orang kaya tapi cukup hidup cukup, sudah bisa membuat dirinya bahagia. Menurut saya orang seperti ini adalah orang yang egois, hanya memikirkan diri sendiri saja atau bisa karena sebetulnya ia menyembunyikan ketidakmampuannya untuk menjadi orang kaya makanya ia selalu berkata begitu kepada banyak orang. Silahkan saja anda punya pikiran sedangkal itu, itu adalah hak anda. Tetapi kemudian saya tanya:
  • Apa yang anda lakukan jika anda mendapat musibah sakit keras (seperti kanker, gagal ginjal, stroke dsb)? – Tanggung jawab kepada diri sendiri
  • Apa yang anda lakukan jika anak/istri/suami anda mendapat musibah sakit keras ?  Anak anda tidak bisa mendapat sekolah yang bagus? Tidak pernah bisa berwisata? – Tanggung jawab kepada orang orang yang dicintai.
…………….akibat penghasilan anda HANYA CUKUP.
Memang ketika seseorang atau suatu keluarga berpenghasilan cukup untuk makan minum dan pengeluaran bulanan yang dasar saja plus punya sandang dan papan (rumah) sudah bisa bahagia. Memang benar, di situasi seperti ini anda boleh teriak teriak sekeras kerasnya ke seluruh orang, termasuk orang sekampung:”Hooooi! Hidup saya cukup, senang bahagia lahir batin….!”
Nah, bisakah anda beri garansi ke saya bahwa anda TIDAK AKAN mendapat musibah dari Tuhan?
Saya yakin jawaban anda tidak bisa dan karena tidak bisa lalu bila ada musibah seperti  yang saya sebutkan diatas itu (cuci darah, kecelakaan dsb) apakah anda masih bisa teriak teriak seperti tadi???? Atau kini anda ubah teriakan anda:”Hoooi, lampu wasiat, tolonglah aku!”
Ada baiknya saya sarankan sebelum mengatakan ‘saya cukup hidup yang cukup’ sebaiknya lebih dulu cari kaca dan bercermin, lalu pandanglah foto foto orang2 yg anda cintai. Ingat, anak atau orang tua yang anda telantarkan akibat penghasilan cukup saja jangan pikir anda terbebas dari dosa.
Lagi, bukan masalah pencapaian enlightenment-nya, melainkan bagaimana kita mempertahankan kondisi enlightenment itu.
Read More...