Sesuai
dengan instruksi perguruan maka kali ini saya mencoba sebagai yang
pertama menuliskan kisah ‘Hubungan Coach dengan Aspirant’ antara
saya dengan pelatih saya tentunya.
Hubungan
saya dengan pelatih bisa dinilai dari berbagai rupa, bisa dibilang
sangat romantis, persaudaraan, persahabatan tapi juga aneh. Kami sama
sama menyukai lagu lagu Perancis, menyukai Marc Hamilton danLe
Grand Orchestre de Paul Mauriat. Kami saling punya kesibukan masing
masing yang menyebabkan kami sering kali terpisah, tapi tidak bisa
tidak ketemu lebih dari sebulan, pasti saling cari atau minimal
saling kontak, sampai sekarang.
Seminggu
berselang setelah malam saya berkenalan dengan AA, si pemuda di
kampus UI itu, saya disibukkan dengan kegiatan rutin harian. Baru
setelah hampir 2 minggu ada pesan masuk singkat ke pager saya.
Sekedar info, waktu itu kami semua yang tinggal di asrama diberikan
pager. ’Dewi, telpon saya di 021-xxxxxx’. Siang waktu selesai
makan saya telpon ke nomor yang diberikan, nomor telp rumahnya.
Begitu dia tahu dari saya langsung dibuka ”he anak nakal.” Saya
ketawa saja. Rupanya dia masih ingat dan sudah tidak marah lagi
akibat saya tabok mukanya waku itu.
Lalu
dia mengajak ketemu. Awalnya hanya maunya hari kerja pulang kantor
sedangkan saya bisanya Sabtu atau Minggu. Akhirnya karena sama sama
keras saya nyeletuk:”Sudah, Sabtu dan bawa aja ceweknya sekalian
kenalkan ke saya” dan ternyata firasat saya benar, dia hanya maunya
hari kerja karena Sabtu Minggu acara buat ceweknya. Jadilah saya
ketemu malam minggu dan benar dia bawa serta pacarnya. Tidak tanggung
tanggung, seorang gadis Rusia! Namanya Nadia Lebedev. Gadis inilah
yang kemudiannya menjadi guru privat bahasa Rusia buat Susi R.
Setelah pertemuan itu saya dan AA hampir rutin ketemu tiap bulan
sekali. Kalau tidak sempat dia kirim pesan lewat pager atau kami
saling kirim surat lewat pos. Dulu itu email belum memasyarakat
seperti sekarang ini. Hubungan saya dan AA memang aneh. Saya tahu dia
‘selalu’ punya pacar. Lucunya, setiap dia lagi ada masalah dengan
pacarnya selalu cur-hatnya ke saya. Kami sering saling menasehati dan
kadang kadang kalau saya tahu dia mulai seenaknya memperlakukan
perempuan sayalah yang marah menegurnya; selalu dia patuhi.
Setelah
sering ketemu seminggu sekali, dalam suatu kesempatan dia
memperlihatkan saya suatu rencana kerja kerja (Framework) tentang
suatu program pelatihan kesuksesan. Katanya dia diminta oleh teman
sekuliah yang orang Jepang untuk melakukan survey perpustakaan
mengenai orang orang sukses di dunia untuk mencari tahu rahasia
sukses mereka. Kakak dibayar oleh temannya itu setiap bulan. ‘Lumayan
yik buat nambah nambah ongkos kuliah’ katanya. Dia memanggil saya
dengan sebutan itu ‘ayik’ yang dalam bahasa Sunda halus artinya
‘adik’. Saya kemudian mencoba memberi masukan untuk surveynya
itu. Cikal bakal gagasan berasal dari temannya sekampus itu, seorang
mahasiswa tamu asal Jepang bernama Yoshihara Osamu.
Tahun
1989 dkakak mulai kerja di Kantor Akuntan Publik, Touche Ross sebelum
merger dengan Deloitte Haskins dan sekarang jadi Deloitte Touche
Tohmatsu.
Tibalah
saatnya saya membicarakan keinginan saya untuk mengikuti program
pelatihan yang dirancang oleh kakak saya itu dengan komandan saya, bu
XYZ. Ibu belum beri reaksi apa apa tapi menyuruh saya
mempertemukannya dengan kakak. Saya pertemukan di suatu restoran
kecil bernama Art and Curio di daerah Menteng, karena kakak yang
meminta ketemunya disana. Kami bertiga hanya ngobrol
singkat saja, sekitar sejam. Setelah berpisah, dalam perjalanan
pulang ibu komandan memberi jawaban ke saya. Sungguh
disayangkan di luar perkiraan semula. Ibu tidak menyetujuinya,
malahan tadinya ibu berniat mengintrogasi AA lebih lanjut, tapi
berusaha saya cegah dan saya bilang bahwa ayahnya AA itu teman
dekatnya Kol Laut H. Oemarijoto (meninggal belum lama ini pada
tanggal 10 Maret 2010 Pukul 17.40 di RSPAD Gatot Subroto Jakarta) dan
juga kenal dengan KASAL di periode itu (alm) Laksamana M Arifin,
sedangkan pangkat ibu waktu itu masih Letnan 1. Demi mendengar nama
itu ibu setengahnya memberi izin ke saya; boleh terima pelatihan tapi
dari jarak jauh saja. Meskipun demikian, ibu sempat berpesan
begini:”hati hati dengan dia ya nak. Ibu lihat dari tatapan matanya
itu sepertinya dia seorang playboy. Awas jangan sampai kamu terjerat
dia. Tidak akan ibu izinkan. Ingat, meskipun usia kamu berbeda jauh
dengan dia, tetapi beda usia 15 tahun itu dianggap masih layak untuk
suatu pasangan”. Dalam hati saya ketawa saja, bergumam ‘ah, asa
sih kakak saya ini begitu???’. Dalam perkembangan selanjutnya
tapinya sepertinya ada mengarah kesana, sayangnya, meski tidak 100%
benar.
Hubungan
kakak dengan Nadia terputus di tahun 1990 karena, menurut
AA, Nadia selalu keras kepala. Komunikasi antara saya dengan AA
sempat terputus setelah dia ditugaskan ke Ambon. Disini
dari telpon interlokal dia bilang punya pacar baru sekaligus murid
baru, Yuningsih Ambar. Waktu ini belum ada larangan hubungan cinta
antara pelatih dan murid, tetapi hubungan mereka ini berpacaran dulu
baru pelatihan dilakukan, bukan kebalikannya. Hubungan
inipun terputus waktu dia pindah kerja ke Andersen Consulting
(sekarang Accenture) dan tugas belajar di St Charles, Chicago di
tahun 1991. Artinya sebelum ke Amerika ini ia sudah punya 2 murid
yaitu Yvonne Fiona Smith, anak dari bossnya (Warren Smith) di
perusahaan terdahulu dan Yuningsih Ambar.
Selesai
SMP saya juga dikirim belajar ke SMA Coronado di A.S. Jadi,
pas waktu dia berada disana saya juga dapat tugas belajar di
Coronado, tepatnya di Naval Amphibious Base di Teluk San Diego.
Segeralah sebelum berangkat saya cari tahu dari kantornya kakak saya
alamat dan nomor telpon di sana. Sampai di Coronado, di sela sela
latihan saya coba telpon dia tapi hanya bisa titip pesan. Begitu juga
kalau dia telpon saya. Jadi ceritanya saling berkirim pesan sampai
akhirnya dia minta ketemu. Dia minta saya ke Chicago dan dia akan
kirimkan tiket pesawatnya. Bagi seorang berprofesi konsultan seperti
dia, harga tiket sekian US$ terbilang kecil. Saya setuju. Maka
ketemulah saya dan kakak di St Charles. Persoalan ada lagi, tapi bisa
terpecahkan, sewaktu disana terpaksa saya menginap di apartemen
milik…pacar barunya lagi, Catherine Deuben berasal dari Cleveland,
teman sekantor. Si AA ini dulunya sepanjang saya ikuti selalu gonta
ganti pacar dan pacarnya selalu cantik, secantik istrinya yang
sekarang. Tetapi tidak pernah punya pacar lebih dari satu dalam masa
yang sama. Jadi, ceritanya saya ‘terpaksa’ juga mengenal dekat
sipacar berikutnya ini.
Waktu
ketemu di St Charles dekat Chicago, tepatnya di Charles Town Mall
(sekedar tahu saja, di tahun itu di Indonesia belum ada sebuah
malpun), AA langsung tanya penuh selidik bagaimana anak sekecil saya
ini (kelas 1 SMA) bisa sampai ke Amrik dan kenapa ke San Diego. Saya
jawab ada ikut kursus Bahasa Inggris. ‘Diselenggarakan oleh siapa?”
tanyanya lagi. “oleh ELS Language Centers alamatnya 110 West A
St # 275, San Diego, California” begitulah apa yang harus saya
jawab kalau ada pertanyaan seperti ini. Tapi rupanya AA tidak bisa
begitu saja percaya. “Aneh, sampai alamatnya segala dihafal”
sambil menatap saya dengan curiga.
“ya,
sudah kalau tidak percaya ya sudah. ” saya jawab dengan ketus,
berharap dia tidak tanya apa apa lagi. Tapi komentar lanjutannya
cukup mengagetkan saya, “ya, sudah, kalau memang tidak mau terus
terang, tidak apa apa. Karena setahu saya di Coronado itu tempat
markas pelatihan US Navy SEAL dan entah kenapa feeling saya
mengatakan kamu itu lagi ikut pelatihan disana….”
“Tapi
kan saya anak kecil…”sambung saya tidak mau kalah. “Ya,
meskipun anak kecil juga tapi anak kecil yang cabe rawit. Sudahlah,
tidak usah coba coba bohongi orang tua”.
Menyusun
Program EFG
Di
negara paman Sam inilah meski dalam jarak jauh saya membantu kakak
dalam penyusunan materi T3. Cathy, nama panggilan Catherine
Deuben, meskipun tidak tertarik dengan pelatihan ini tapi dia banyak
menyumbangkan bahan pelatihan berupa Universe dan The Law of
Universe (Hukum Alam Semesta), yang kemudiannya menjadi unggulan
dari perguruan Uni-Syn. Jadi, Hukum Alam Semesta sudah diperkenalkan
di komunitas ini jauh lebih dulu sebelum The law of Attraction
menjadi heboh setelah ditulis oleh Rhonda Byrne.
Perjalanan
waktu belajar saya dengan ‘sang guru’ lebih tepat disebut belajar
mengajar. Karena saya dan AA saling isi mengisi. Cukup banyak ia
belajar dari saya yang kemudian ia terapkan ke sistem, yang
belakangan disebut EFG setelah istilah FAME diganti jadi EF. Kakak
saya ini orangnya jauh dari kesombongan, mau belajar dari siapa saja
dan apa saja. Dasarnya orang ini tipe observant, gemar mengobservasi
sesuatu yang selanjutnya dia analisa dan dia jadikan ilmu
pengetahuan. Dia tidak sungkan belajar dari saya meski terpaut usia
15 tahun. Apa yang saya ucapkan tidak pernah satu hurufpun dia
lewatkan untuk dicatat, juga tidak malas bertanya.
Hubungan
saya dengan kakak memang sudah seperti saudara, tapi banyak orang
yang meragukan kualitasnya dibilang saudara. Karena banyak orang
menilai kalau saya sedang berdua dengan kakak saya itu lebih
kelihatan seperti sepasang kekasih. Bagaimana ya? Sering saya
menyenderkan punggung saya, lagi duduk atau berdiri, ke dada kakak
saya, misalnya seperti itu. Tapi…pokoknya susah untuk
mengatakannya.
Profesi
saya mengakibatkan saya begitu mudah bergaul dan cepat akrab dengan
orang, namun disegi lainnya sebetulnya akibat profesi itu juga
menyebabkan ada batasan. Sehingga sekalipun saya punya banyak teman
pria tetapi sulit bagi saya untuk memulai hubungan percintaan, meski
sudah banyak sekali pria yang mencoba menjalin hubungan serius dengan
saya. Sedangkan kakak saya ini tidak pernah mengatakan cinta. Pernah
menjelang keberangkatan saya ke Perancis di tahun 1993 dia kasih saya
kaset penyanyi Marc Hamilton asal Perancis. Salah
satu lagunya dia sangat suka: Comme j'ai toujours envie
d'aimer. Setelah dengar lagu itu saya juga ikut suka,
tapi yang jadi pertanyan besar dari saya mengenai ARTI dari judul
lagu itu beserta isinya. Karena Itu cukup membuat saya sulit tidur
bertanya tanya terus sampai saya mulai kuliah. Kakak saya itu tidak
bisa bahasa Perancis tapi saya tahu adik kandungnya lulusan Sastra
Perancis UI. Lagu itu dalam bahasa Inggris: AS I ALWAYS
WANT TO LIKE YOU. Akhirnya waktu ada kesempatan balik ke Jakarta dan
ketemu lagi saya print out terjemahan lagu itu. Nah yang bikin saya
gemas adalah reaksinya dia biasa biasa saja, menandakan sebetulnya
dia sudah tahu arti dari lagu itu. Tapi kenapa terus saja bungkam dan
sepertinya tidak pernah mau mencoba mengungkapkan perasaan dia
sebenarnya ke saya. Jadinya selalu misteri, saya cuma bisanya nebak
nebak saja.
Di
tahun 1998 ada kerusuhan di negara kita, saya pas sedang ditarik
sebentar ke Jakarta. Saya dikenalkan seorang gadis Tionghoa
bernama Aylen Kwok yang menurut ukuran saya sangat cantik,
bagaikan bidadari. Kakak menitipkannya sementara tinggal semalam di
mess saya tinggal. Tadinya saya pikir Aylen ini kekasih barunya lagi,
ternyata dugaan saya meleset. Di penghujung tahun ini juga setelah
sekembalinya saya ke Perancis, kakak menikah dengan gadis pilihannya.
Bagaimana perasaan saya waktu itu mohon maaf tidak bisa saya
ungkapkan disini. Cukup lama setelah itu saya malas ketemu
kakak, yang biasanya setiap bulan pasti menjadi sesuatu yang wajib
untuk saling kontak, kali ini saya yang mencoba ‘menghilangkan’
diri. Email terus berdatangan hampir tiap hari ke inbox saya dari
kakak tapi tidak mau saya balas. Sampai akhirnya 6 bulan kemudian
Aylen menyengaja datang ke Paris, mewakili kakak saya, khusus meminta
maaf sebesar besarnya, meskipun kakak saya tidak tahu salahnya apa
dan agar saya mau menjalin kontak lagi dengan kakak saya, barulah
saya tergerak merespon.Entah harus bagaimana atau apa yang saya harus
katakan. Saya ini diakui oleh kolega saya dengan sebutan ‘Iron
Girl’ karena begitu tangguh, ulet dan paling keras hati. Namun jika
dihadapan kakak saya ini bisa jadi sangat rapuh, mudah menangis
cengeng, manja, bisa membuat saya lupa siapa diri saya, apa profesi
saya dan apa pangkat saya; yang ada saya selalu memposisikan diri
selalu sebagai seorang adik kecil ketemu kakaknya persis seperti di
tahun 1988 dulu. Sering kali malah kakak saya ini yang mengingatkan ‘
hey bu Kapten, eling eling (ingat), kamu ini siapa, nanti kalau pas
ada anak buah melihat gimana?’ Biasanya saya tetap cuek saja, tidak
peduli. Pernah lucu juga saya kelepasan ngomong waktu saya peluk dia
dari belakang, “sekarang kok Aa badannya jadi makin pendek?”
Kakak menjawab santai, ‘Kamu ngeledek ya, Wi? Itu kan karena
sekarang badan kamu lebih tinggi dari saya...”Suatu waktu
dalam kesempatan berdua saja di Kalimantan dalam acara ulang tahun
Equitas Club, di malam hari kami berada di teras rumah keluarga
Nyunting. Saya bilang:”Aa, kalau saja dulu saya tidak punya
keberanian bangunkan AA yang lagi tidur di taman malam malam itu…
bisa jadi saya hanyalah seorang perwira yang menunggu pensiun…”
Kakak senyum menimpali, “positif dong, Wi. Kalau kamu tidak ketemu
saya dulu itu, bisa jadi kamu nantinya jadi Menteri Pertahanan wanita
pertama….” Itulah kakak saya tersayang, selalu berpikir
positif….Sampai akhirnya saya mengenal Maribel, seorang gadis
Jawa-Filipino yang terkenal jago menerawang. Terbukalah sudah
kesemuanya dari A s/d Z. Dengan Maribel juga yang mendampingi saya
untuk menyampaikan ke kakak saya bahwa dipenghujung tahun ini saya
akan menikah dengan seorang pria Diplomat yang juga dari Indonesia.
Apa yang tetap membikin saya heran dan menggemaskan waktu saya
meminta doa dan izin saya akan menikah adalah reaksi sang kakak yang
terlihat santai saja sambil tersenyum, sedikit kaget juga tidak “ya
silahkan, Yi. Kapan lagi? Kamu sudah cukup kan usianya’…..
Selesai itu saya tadinya mau marah pada Maribel tetapi dia keras
meyakinkan saya akan ketepatan hasil terawangannya itu. Akhirnya saya
minta tolong Aylen yang cukup bisa handal dalam penerawangan. Jawaban
Aylen? Memperkuat hasil Maribel.Bagaimana sih kakak saya ini?
Harusnya yang pandai menyamar itu kan saya….COMME
J'AI TOUJOURS ENVIE D'AIMER

