
Tapi Paris adalah Paris , sebuah kota metropolitan di Eropa yang menyimpan berbagai permasalahan. Tinggalkan paket-paket tour yang menawarkan kemudahan dan hanya menyingkap sisi indah Paris . Telusuri Paris dari berbagai sisi dan temukan fakta menarik bahwa warga Paris adalah manusia juga. Sebagian lorong-lorong subway yang unik dimana para pemain musik jalanan memanfaatkan jalur bawah tanah untuk mengumpulkan setiap keping sen Euro demi menyambung hidup. Saat ini akan sangat mudah dijumpai pemain musik jalanan di berbagai sudut lorong subway dengan beragam instrumen dari gitar, gendang, bass cello, sampai hanya alat pukul sederhana. Tidak hanya mangkal di pinggir-pinggir lorong, para pemusik jalanan itu juga masuk ke metro dan bermain di atasnya persis seperti suasana KRL di Jakarta. Meskipun memang musik yang dimainkan lebih enak didengar dan tidak ada nada memaksa dalam meminta setiap sennya. Itu sih masih bagus. Bagaimana dengan aroma bekas air seni menyeruak dari sudut-sudut dinding?

Meninggalkan Arc de Triomphe, seperti biasa saya bergegas mengejar subway ke Republique. Turun dari metro, saya segera bergegas ke pintu keluar. Bau air kencing dari sudut-sudut dinding sesekali menyeruak. Ok, saya sudah terbiasa. Tapi begitu hampir sampai jalan keluar, seorang lelaki paruh baya sedang berdiri dengan cuek buang air kecil menghadap ke arah saya. Bahkan di Jakartapun orang masih akan sembunyi-sembunyi saat buang air kecil di tempat umum. Itulah Paris.
Lalu di waktu yang lain di pagi hari saat orang bergegas berangkat kerja, seorang lelaki umur paruh baya bergegas mengejar subway di belakang saya. Untuk bisa melewati pintu penghalang, penumpang harus menggunakan tiket yang masih valid dan menggunakannya untuk membuka penghalang. Disamping pintu masuk, terdapat pintu keluar yang dilengkapi dengan sensor. Kalau ada yang akan keluar dari arah dalam, pintu itu baru bisa terbuka dengan didorong. Sesaat setelah saya masuk, orang di belakang saya mengikuti. Tapi bukannya memasukkan tiket melalui mesin, dia malahan membuka pintu keluar dengan sedikit paksa. Anehnya pintu itu bisa terbuka. Entahlah. Meskipun begitu kita sempat berpikir ini orang Paris kenapa kelakukannya begini?
Pernah saat kereta yang saya tumpangi ke bandara Charles de Gaulle berhenti di stasiun kesekian dari Gare du Nord, seseorang yang berpakaian kumal dan kotor layaknya gelandangan naik ke kereta. Baunya seperti bau sudut-sudut dinding subway, bau air seni. Seorang ibu-ibu yang didekati segera pindah ke kursi bagian depan. Entah karena orang ini stress atau gila yang jelas segera dia memaki-maki si Ibu yang pindah dan berjalan mendekatinya dengan langkah tertatih-tatih. Saat berjalan melewati kursi saya, saya hanya bisa menahan nafas (terpaksa teknik olah nafas gaya Optimizer digunakan) dan berdoa semoga dia cepat-cepat berlalu.
Paris, di balik keindahannya menyimpan kekerasan hidup—apa lagi buat seseorang yang tinggal secara ilegal.

Iin Isnaini
Suatu ketika saya bertemu dengan TKW asal kota dimana saya dilahirkan – Ciamis, jawa Barat. Wanita itu bernama Iin Isnaini. Sesuai namanya dia memang dilahirkan di hari Senin, cahaya pada hari Senin. Ibu muda berputri satu ini awalnya kerja di Jeddah, Arab Saudi sebagai baby sitter 2 anak dari keluarga Arab disana. Iin menerima perlakuan kasar dari majikannya, tiada hari tanpa kekerasan. Ia sudah tidak tahan bekerja di keluarga majikannya itu, namun meminta berhenti tidak mungkin sebab gajinya pun masih tertunda 3 bulan.
Pada musim semi, keluarga majikannya berlibur ke Paris. Iin diajak serta untuk mengurus kedua putra majikannya. Sebelum keberangkatan ke Paris, Iin banyak mendengar tentang kota dunia nan menakjubkan itu. Ia tergiur dan ingin sekali ‘kabur’ dari cengkeraman majikan ini. Niatnya itu terkabul. Tetapi bukan kebahagian diraihnyam ia terluntang lantung di kota yang di setiap sudutnya serba indah ini. Untunglah ia ditolong seorang lelaki asal Lebanon. Singkatnya Iin menjadi teman serumah pria tersebut tanpa diikat pernikahan. Ternyata, dari penuturan Iin sebenarnya banyak TKW Indonesia di Paris yang hidup seatap dengan lelaki lain tanpa ikatan perkawinan. Dari hidup sekamar dengan kekasihnya, tak jarang untuk menyewa apartemen yang mahal itu ditopang bersama. Akan tetapi baik bagi si pria itu, seperti juga Iin, sebenarnya sudah berkeluarga di negaranya. Itu sebabnya yang membuatnya tak mungkin dapat menikahi Iin, yang masih berstatus istri orang.

Akhirnya keduanya berpisah. Iin menumpang di apartemen temannya sesama TKI yang tersesat di Paris ini juga. Sungguh disayangkan, sang teman wni ini memang pekerjaannya membantu tkw tkw yang terlantar, ditampung, tetapi kemudiannya dijual ke rumah bordil setempat.
Singkat cerita, Iin ketemu saya sangat kebetulan sekali. Dia lagi dipertemukan dengan ’calon penyewa’nya sewaktu saya sedang santai jalan jalan di La Basilique du Sacré Coeur de Montmartre, daerah turis tetapi berdekatan dengan daerah merah Paris (Red District). Sewaktu mau masuk ke mobil dia melihat saya dan teriak dalam bahasa Indonesia ‘tolong!’. Saya spontan mendekatinya, tetapi spontan itu juga seorang berbadan tinggi besar, orang Imigran berwajah Arab yang saya yakin adalah preman yang menjaga si Iin berusaha mencegah saya. Dia bilang (tentunya dalam bahasa Perancis) “jangan ikut campur, atau kamu saya ikut bawa serta”. Iin terlihat menangis, sadar, percuma minta tolong saya. “Oke, maaf. Kalau begitu biarkan saya lewat” saya bilang. Si Arab agaknya setuju, membiarkan saya berjalan melewati mereka bertiga. Tapi begitu berada di dekat si Arab langsung saya hujamkan berkali kali pukulan ke ulu hati dan beberapa organ vitalnya dengan sangat sangat cepat ala tinju halilintar yang diajarkan coach saya; dalam 2 detik mungkin ada 20 pukulan. Hasilnya? Si Arab terdiam, tetap berdiri, mengerang, tidak bisa bergerak tapi tidak keluar suara karena pukulan terakhir saya ke lehernya menghancurkan pita suaranya. Dengan santai, saya tarik tangan si Iin. Si calon penyewa ketakutan. Dia buru buru menyerahkan Iin ke saya. Kemudiannya saya segera menyetop taxi dan membawa Iin pergi dari situ. Bagaimana kelanjutannya dengan si Arab? Saat itu dia tidak bisa apa apa karena sedang “menikmati” rasa sakit yang luar biasa. Besok dan beberapa hari ke depan dia tidak akan mau makan apa apa, nafsu makannya hilang karena organ organ vital di dalamnya sudah hancur. Dari luar sih tetap kelihatannya biasa biasa saja. Tapi, tunggu tanggal mainnya…tinggal nama.
Dari perkenalan Iin dengan saya, ia mendapat semangat baru untuk mengurus surat-surat di KBRI demi kepulangannya ke Ciamis. Saya bersedia membelikan tiket pesawat buatnya ke Indonesia . Iin pulang sebagai orang yang kalah atas dirinya sebelum benar-benar lebur ditelan buasnya Paris .

0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.