Author: Susi Rusanti

dengan teman teman SMA (di tengah)
Di dunia ini terkadang untuk menutupi kekurangan diri kita sama sulitnya dengan menutupi kelebihan kita. Sehubungan dengan itu saya punya cerita menarik yang mungkin bermanfaat bagi para pembaca. Kisah ini terkait dengan reuni SMA saya tahun lalu yang menempati sebuah rumah besar mewah di dekat The Peak, Bandung dimana untuk mencapainya kita ambll jalan dari depan Ledeng Setia Budi melalui jl Sersan Bajuri ke arah Parompong. Rumah ini milik salah seorang teman kami SMA bernama Linda.

Dari dulu untuk mendatangi suatu reuni saya termasuk yang paling malas. Tentu saja menyenangkan bertemu teman yang mungkin sejak lulus sudah tidak berjumpa lagi. Namun di sisi lainnya selalu, sengaja atau tidak, reuni sekaligus jadi ajang pamer kesuksesan. Inilah dia, satu hal yang paling bikin saya jengkel. Bukanlah karena saya (juga teman teman EF lainnya) dari garis kebijakan Sang Guru kami tidak diperbolehkan pamer; bukan itu. Sesuatu yang sudah lama ditanam dalam pola pikir kita dan menjadi ritme kita hariannya tidaklah lagi membuat kita terasa berat melaksanakannya. Kata lainnya ‘sudah mendarah daging’.
SMA 1 Bandung termasuk sekolah favorit dan terkenal dengan siswa dari golongan The Haves. Setelah puluhan tahun mereka meninggalkan bangku sekolah, kalau dulu mereka pamer mobil bapak mereka kini giliran pamer mobil hasil beli dari upaya mereka sendiri. Jadi singkatnya di rumah mewah ini selain berkumpul teman teman seangkatan dengan pernak pernik simbol keberhasilan mereka, di luar juga berderet pameran mobil mewah. Mungkin saya termasuk segelintir saja orang yang pakai HP butut, dulu itu yang lain umumnya sudah BB atau minimal Qwerty. Dari sorot mata teman teman, terutama teman wanita, memandang pakaian saya tahulah bahwa terpancar rasa keheranan melihat gaya berpakaian saya atau mungkin ada rasa kasihan kalau tidak dibilang sebagian ada yang memandang rendah. Tentu karena sebagian besar dari mereka memakai bermerk terkenal mulai dari ujung rambut sampai kaki. Ada yang sengaja kaca mata hitamnya dibiarkan terus bertengger di kepalanya agar terbaca terus merk pembuatnya. Belum itu yang namanya keroncongan dan kerincingan (emas berlian).
Reuni merupakan salah satu waktu yang tepat bagi kaum hawa untuk berlaga. Salah satu sahabat saya sempat mendekati saya sambil berbisik:”Sus, nggak malu tuh pakai imitasi?”. Saya menggelengkan kepala sambil senyum. Karena sudah terbiasa maka sudah bukan jadi beban lagi mengenakan segala sesuatu yang sederhana. Lucunya waktu para peserta diminta menyumbang ke guru guru yang sudah tua dan pensiun dengan menyebut angkanya saya malah dilewati ditanyanya, langsung dilompat ke teman yang duduk di sebelah, karena mereka pikir Susi janganlah dibebankan hal hal yang terkait uang.

Lilies
Lilies
Di reuni itu sebetulnya saya sudah jauh hari menyatakan ‘ogah’ datang ke seorang sahabat saya teman sekelas dan sebangku plus teman dari sekampung yang namanya Lilies. Sebetulnya dari Lilies inilah yang membawa saya menjadi satu sekolah. Saat sedang pilih sekolah itu ayahnya Lilies yang kebetulan sahabat ayah sayalah (Maulana Kusumah) yang menyatakan mensponsori seluruh biaya saya hingga bisa masuk satu sekolah dengan anaknya. Tidak hanya itu, ayah Lilies di kampung memang terkenal sosial, banyak mambantu orang.
Namanya H Aang Suyatna. Banyak orang menilai H Aang sebagai seorang yang bangkrut (beberapa tahun setelah saya masuk SMA) namun menurut ayah justru beliau adalah orang yang luar biasa sukses. Dulunya ia adalah pengusaha kaya raya yang memiliki harta benda amat banyak. Terkaya di kampung kami. Rumah dan mobil mewah tak hanya satu dua, belasan mungkin. Belum lagi gaya hidup yang amat keren, yang menyebabkan banyak teman dan kolega mengerumuni dan menyanjungnya. Semua ingin mendapatkan manfaat dari H Aang. Namun kondisi bergelimang materi tersebut ternyata tak setia menemaninya. Beberapa tahun setelah saya hampir lulus SMA, H Aang mengalami kerugian dalam spekulasi bisnisnya. Meski yang namanya bisnis memang selalu ada untung ruginya, namun masalah bisnis yang dihadapinya kali ini benar-benar sanggup menghabiskan harta benda yang semula begitu berlimpah.
H Aang akhirnya tinggal di sebuah rumah kontrakan yang amat sederhana. Ayah saya pun sempat heran dan tak menyangka ketika pertama kali singgah ke rumah kontrakan tersebut. Tentu dibanding dengan kehidupannya yang dulu. Tapi di sinilah ayah bisa menilai kesuksesan H Aang. Dalam keadaan terpuruk akibat bisnis yang gagal; beliau sukses mengatasi kondisi mental dan jiwanya. Beliau bersyukur, setelah jatuh miskin banyak sekali hikmah yang menyejukkan jiwanya. Ia merasa lebih mengenal dan dekat kepada Sang Pencipta.

Jaguar XJ
Singkatnya tahun lalu waktu reuni itu Lilies sudah berumah tangga dengan satu anak. Demi agar saya mau hadir di reuni itu ia sengaja menjemputku yang lagi istirahat di kampung (Kadupandak, Sukabumi)nyetir sendiri dari Jakarta dengan mobil yang tidak terlalu baru – Daihatsu Xenia th 2005 dan inipun dia beli second di tahun 2008. Petaka bagi Lilies ini terjadi diusai reuni sewaktu kami semua bergegas menuju kendaraan masing masing untuk pulang. Karena daerahnya memang menukik curam, Lilies agak gugup mengendalikan mobilnya hingga berakibat ‘mencium’ mobil teman kami yang rumah mewahnya kami gunakan buat reuni itu, Linda. Mobilnya? Jaguar seri XJ keluaran agak baru yang ditaksir harganya sekitar 4 M. Masalahnya Linda belum sempat memperpanjang asuransinya dan Linda ini di kalangan kami terkenal dari dulu anaknya angkuh. Kontan Lilies berubah pucat pasi, tidak bisa membayangkan berapa ratus juta rupiah yang harus ia keluarkan. Jangankan menggantikan si jaguar, untuk mereparasi mobilnya sendiri dia bingung bagaimana caranya karena keterbatasan uang. Akhirnyalah saya turun tangan, bukan menengahi tetapi mengambil alih posisi Lilies menyatakan siap menanggung semuanya. Disitu dengan adanya kejadian itu tentu sebagian besar teman teman kumpul ingin tahu apa yang terjadi dan sudah tentu bukan hanya Lilies dan Linda saja tetapi semua teman teman yang kumpul di situ terkaget kaget tidak percaya bahwa saya mau berbuat ‘tolol’ membela Lilies. Tambah lagi tanda tanya dalam kepala mereka seakan akan mereka bertanya “masa sih Susi mampu keluar uang untuk itu?”. Disitu posisi saya cukup sulit. Sedikitpun saya tidak ada niat tadinya untuk terlibat apalagi sampai ‘show off’ begitu. Namun kemudiannya terlintas dibenak saya bayangan raut wajah almarhum H Aang, ayah Lilies, yang dulunya sudah sebegitu banyak membantu saya dan juga keluarga saya. Apa yang terjadi sepanjang perjalanan pulang mengantar saya balik ke Cianjur dengan gunakan mobil teman yang lain Lilies entah berapa kali bertanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri apakah benar saya memang mau membantunya. Sudah tentu rumour beredar di kalangan teman teman SMA mengenai saya mulai saat itu, hal yang sebenarnya saya selalu berusaha hindari: “Susi ternyata tajir…..” dan segala sanjungan lainnya..
Beberapa bulan kemudian ada kejadian lain lagi yang seakan akan sudah diatur oleh Tuhan. Saya dengar dari teman bahwa Lilies sedang bingung bagaimana harus memperpanjang kontrakan rumahnya. Masalah klasik: bingung tidak ada uang buat memperpanjang dan kalau tidak diperpanjang bingung harus tinggal dimana. Disisi lain saya dengar Linda sedang menghadapi masalah, butuh uang besar, yang membuatnya terpaksa jual cepat dengan harga miring rumahnya yang dulu kami gunakan sebagai tempat reuni itu. Hal ini karena ternyata dia punya masalah dengan bank terkait pinjamannya untuk bisnis. Persis keadaan H Aang. Dia harus menjualnya dari pada disita. Akhirnya setelah saya diskusikan panjang lebar dengan pelatih saya, lampu hijau turun dari Aki (sebutan untuk pelatih saya) membolehkan saya membeli rumah itu. Selesai transaksi kemudiannya tentu bukan orang lain lagi yang ada dikepala saya selain Lilies. Saya minta sahabat saya ini untuk menempati rumah itu sampai kapanpun dia mau. Kini Lilies dan suaminya sudah berhasil punya rumah sendiri tapi rumah saya yang saya beli itu selalu rutin dia rawat rapih. Uang yang saya transfer untuk biaya perawatan, sebelum rumah itu dikontrakkan, selalu dia kembalikan ke saya. Waktu saya tanya kenapa Lilies malah balik setengahnya kesal bilang: ‘kalau kamu paksa saya terima uang itu artinya saya bukan lagi saudara kamu, Sus”
Laporan kekayaan dunia “World Wealth Report” tahun 2007 menyebutkan ada 10,1 juta orang kaya di dunia. Mereka yang dapat masuk ke daftar orang kaya tersebut adalah mereka yang berharta di atas satu juta dolar. Perbedaan yang paling nyata adalah bahwa orang kaya mempunyai banyak pilihan, mulai dari menu makan siang, gaya hidup, dsb. Sedangkan orang miskin tidak punya pilihan, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah bagus. Menjadi kaya juga adalah pilihan, bukan sekedar kemauan. Orang kaya dengan kekayaannya otomatis mengangkat dirinya menjadi orang penting. Saya lalu teringat kalimat yang sering diucapkan Ebet Kadarusman (Kang Ebet) yang bunyinya:”It’s nice to be important but it’s more important to be nice”. Terakhir, menurut saya hubungan saya dengan sahabat saya Lilies tak kurang tak lebih dari mekanisme salah satu Hukum Alam Semesta:The Law of Cause and Effect. Apa yang dulu pernah ditabur oleh alm H Aang telah bisa dituai oleh anaknya. Saya hanyalah mediator saja.
Cerita saya ini hanya untuk kalangan terbatas. Dalam penulisannya sedikitpun tidak ada tujuan show off, demi Allah, mohon lebih dititikberatkan dalam aspek Hukum Tabur Tuai-nya.

0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.